Swara Adhyaksa

Swara Adhyaksa

Jumat, 05 Maret 2010

Kasus GLA Bisakah Terungkap?

SBY ‘Kembali’ Dikelabui
Perumahan Bersubsidi Terbengkalai


Nampaknya untuk kali kesekian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ‘kembali’ dikelabui bawahannya. Niat baik untuk mensejahterakan rakyatnya, malah dijawab dengan penyelewengan. Masih segar diingatan kita, peristiwa varietas padi jenis baru Supertoy di Purworejo, setelah sebelumnya juga mencuat ditemukannya bahan bakar baru yang sempat membuat pihak Universitas Gajah Mada berang.
Peristiwa serupa terulang lagi di perumahan khusus pekerja Griya Lawu Asri, di Desa Jeruk Sawit, Gondangrejo, Karanganyar, Jateng. Perumahan bersubsidi bagi pekerja berpenghasilan rendah yang diresmikan oleh Presiden pada Desember 2006 tersebut dalam kondisi terbengkalai dan 783 rumah yang sudah terbangun dari rencana 2.000 unit dan baru 13 rumah yang dihuni. Perumahan tersebut saat inipun terlihat tak berpenghuni.
Pantauan di lapangan, ribuan rumah di kawasan tersebut tidak terawat. Rumput liar dan perdu tumbuh di dekat rumah-rumah yang ada. Dinding rumah yang belum disemen pun terlihat semakin kusam. Bahkan ada yang sudah mulai rusak, entah itu pintu atau atap seng yang tidak lagi terpasang rapi.
Fasilitas listrik dan air belum terlihat terpasang. Gambaran perumahan asri pun tidak terlihat lantaran jalan di antara rumah-rumah yang ada sudah rusak. Begitu juga dengan gambaran penghijauan di sekitar perumahan. Tidak tampak pohon-pohon peneduh yang menambah keasrian. Tumpukan material di sudut perumahan masih terlihat, kendati tidak ada pekerja yang sedang mengerjakan proyek.
PENGHASILAN RENDAH
Saat itu dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Solo, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau komplek perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Desa Jeruk Sawit, Kecamatan Gondang Rejo, Kabupaten Karang Anyar, Rabu (20/12) siang. Dalam peninjuan ini, Presiden SBY menyerahkan secara simbolis akta dan kunci untuk 10.000 unit RSS kepada calon penghuni.
Gubernur Jateng (saat itu) Mardiyanto dalam laporannya menyebut, MBR ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu masyarakat yang berpenghasilan 0 – Rp. 800.000/Kepala Keluarga/bulan, masyarakat yang berpenghasilan Rp. 800.000 – Rp. 1.400.000/KK/bulan, dan masyarakat yang berpenghasilan Rp.1.400.000 – Rp. 2.000.000/KK/bulan.
“Program ini untuk pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pelaksanaan terbagi dalam dua kategori, yaitu non-reguler dan regular. Non-reguler adalah relokasi dan rehabilitasi pasca bencana alam, sementara regular adalah pembangunan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Mardiyanto.
Komplek perumahan yang terdapat di Desa Jeruk Sawit ini termasuk kawasan siap bangun yang keseluruhannya akan berjumlah 10.000 unit rumah.
Mardiyanto menuturkan bahwa tahun selanjutnya akan dibangun seribu unit Rumah Sehat Sederhana (RSS) untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga Rp 17 juta/unit dengan luas tanah 21 M2.
“Bila masyarakat ingin membeli, uang mukanya hanya Rp 1 juta, karena pembeli akan mendapatkan subsidi sebesar Rp 9 juta rupiah dari Kementerian Perumahan Rakyat. Sedangkan Rp 7 juta sisanya dapat diangsur selama sepuluh tahun, sebesar Rp 130 ribu/bulan. Tanahnya dari Pemerintah Pusat. Setelah RSS selesai dibangun di Desa Jeruk Sawit, berikutnya akan dibangun juga RSS di wilayah Kabupaten Sragen, Wonogiri, dan Surakarta.”
RSS di Desa Jeruk Sawit diberi nama Griya Lawu Asri Jeruk Sawit, Karanganyar. Pemilik lahan adalah Perum Perumnas, sertifikatnya Hak Guna Bangunan (HGB). Luas lahan seluruhnya 18, 2 hektar, dengan perincian luas lahan perumahan 10,9 hektar dan luas lahan prasarana dan sarana 7,2 hektar. Di setiap 100 unit rumah terdapat pos kesehatan. RSS ini memiliki tiga tipe, yaitu tipe 21 sebanyak 616 unit dengan harga Rp 17 juta, tipe 23 sebanyak 554 unit dengan harga Rp 23 juta dan tipe 27 sebanyak 200 unit dengan harga Rp 30 juta.
Rombongan Presiden dan Ibu Negara juga menyempatkan meninjau RSS dan pos kesehatan yang telah selesai dibangun. Presiden SBY memuji konsep RSS yang diciptakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini, dan berharap konsep ini dapat diaplikasikan di daerah lain.
“Prioritasnya bukan hanya pada keberadaan rumah itu sendiri, namun konsep rumah yang sederhana dan sehat,” kata Presiden.
Bupati Karanganyar Rina Iriani pun menuturkan bahwa, perumahan tersebut dikhususkan bagi warga yang berpenghasilan di bawah rata-rata upah minimum kota (UMK). Dimana dengan bantuan subsidi silang, warga dapat mengangsur rumah tipe 21 itu dengan hanya mengeluarkan Rp 100.000 per bulan selama lima tahun. "Ini untuk bisa membantu kepada keluarga yang tidak mampu," jelasnya
INVESTASI
Salah seorang pegawai pemasaran yang tidak mau disebut namanya membenarkan belum lengkapnya fasilitas umum di wilayah tersebut. Dirinya juga mengakui, dari 1.370 unit rumah yang dibangun di atas lahan seluas 18,2 hektar tersebut belum dihuni semuanya. Kalau pun ada, paling hanya satu dua orang. “Kebanyakan untuk investasi, jadi kalau kesini hanya ngecek saja. Biasanya sepekan sekali,” ujar pegawai tersebut.
Menurut Sekretaris Desa (Sekdes) Jeruksawit Wagimin, belum diketahui perkembangan pembangunan proyek perumahan itu. Pihak pengembang tidak pernah memberitahu progress pembangunan dan penghuni di kawasan tersebut.
Hanya saja, pihak desa menerima 270 lembar surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) dari kantor pajak.
“Berarti memang belum semuanya terjual. Tapi setahu kami, belum semua yang membeli juga menempati. Sayang sekali, padahal ini kan proyek nasional,” ungkap Wagimin.
Manager Griya Lawu Asri Handoko Mulyono, yang saat ini telah ditahan Kejati Jateng, kala itu membantah pengelolaan perumahan tersebut kurang maksimal. Ini terbukti dengan terjualnya 720 unit rumah dari 1.370 unit rumah yang dibangun. “Tapi memang tidak semua menempati rumah ini. Mereka hanya menjadikan perumahan ini investasi,” ungkap Handoko.
Handoko menjanjikan bahwa rumah di GLA tidak akan mangkrak. Pihaknya mengakui menemui sejumlah kendala, seperti sumber air, listrik yang saat ini tengah diupayakan. Selain itu juga ada kendala proses Kredit Perumahan Rakyat (KPR) yang sebelumnya sempat dibatalkan secara sepihak oleh bank yang bekerja sama.
“Tetapi, sekarang kami bekerja sama dengan Bank Kepegawaian Daerah (BKD), dan sudah lancar.”
Pihaknya mengaku ingin mempercepat realisasi target pembangunan rumah. “Namun, dari 700 unit rumah yang sudah dibangun, kami upayakan untuk laku dulu. Baru melanjutkan pembangunan rumah selanjutnya.”
Saat ditanya data riil pemesan rumah, Handoko mengatakan sudah ada 350-an orang dengan subsidi yang diberikan secara berbeda-beda, tidak semuanya Rp 12,5 juta. “Tidak bisa dipatok, tapi tergantung besarnya gaji. Untuk calon penghuni berpenghasilan lebih dari 1 juta, subsidi berkisar Rp 9 juta atau Rp 10 juta.”
Saat ditanya tentang fasilitas umum yang belum terpasang dan kondisi perumahan yang kurang terawat, dirinya pun enggan berkomentar. Meski mengakui adanya keterbatasan, Handoko tidak mengungkapkan kendalanya.
Seperti diketahui, Perumahan Griya Lawu Asri dibangun dan mendapat bantuan dari kementrian perumahan rakyat. Perumahan tersebut ditujukan untuk mendukung program 10.000 unit rumah bagi pekerja serta mendukung Gerakan Nasional Pemberdayaan Sejuta Rumah. Karena itu rumah yang ada diprioritaskan bagi pekerja di wilayah Karanganyar.
TANGGUNG JAWAB PENGEMBANG
Mangkraknya pembangunan dan pengelolaan Perumahan Griya Lawu Asri (GLA) yang berlokasi di Desa Jeruksawit, Gondangrejo adalah tanggung jawab pengembang. Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Komisi B DPRD Karanganyar, Agustinus Kurniawan.
Menurut dia, pengembang bertanggung jawab karena perumahan tersebut juga mendapat bantuan dari Kementerian Perumahan Rakyat RI, terutama menyangkut subsidi pemerintah untuk pemasaran perumahan tersebut.
Dikemukakannya, nilai subsidi program tersebut adalah Rp 12,5 juta/rumah. Dengan demikian, dalam hal ini DPRD akan meminta pertanggungjawaban pengembang mengingat ada 1.370 unit rumah yang diusulkan menerima subsidi. Jika tidak ada respons atau tidak bisa memberikan pertanggungjawaban, maka hal ini akan diperkarakan ke kejaksaan,
Agustinus mengatakan saat Komisi B menggelar inspeksi mendadak (Sidak) ke lokasi. “Kesimpulannya pembangunan perumahan tersebut jauh dari harapan,” tutur Agustinus.
Dikemukakan, dari 1.300 target pembangunan unit rumah, saat ini baru terealisasi 700 unit rumah. Itupun termasuk rumah yang baru dalam tahap pondasi. ermasalahan kedua, lanjutnya, belum ada komponen perumahan yang matang.
“Fasilitas umum vital, seperti listrik dan sumber air bersih belum matang. Mengapa, program yang sudah berjalan 3 tahun itu belum bisa melengkapi komponen tersebut. Dan mengapa baru terealisasi 700 rumah? Itu adalah kesalahan fatal pengembang.”
Pihaknya pun melihat, tidak adanya pematangan tanah tempat dibangunnya rumah. “Tanah yang sebelumnya hanya berbentuk lereng-lereng hanya dikepras saja. Seharusnya, tebing itu digempur, diratakan, dikeraskan baru dibangun rumah.” Hal ini perlu dilakukan, mengingat struktur tanah di kawasan tersebut adalah tanah lempung. Jika musim kemarau kering kerontang, sementara saat tiba musim hujan akan becek.
Agustinus menambahkan dalam proses pembangunan rumah pengembang tidak hanya melibatkan satu kontraktor, melainkan beberapa subkontraktor.
“Terjadi kesalahan yang kami nilai sangat fatal. Kami menerima laporan, ada sekitar delapan subkontraktor yang dirugikan hingga mencapai kisaran Rp 100 juta per subkontraktor. Mereka belum dibayar. Padahal, subkontraktor itu juga harus memenuhi utang mereka ke para penjual material.”berbagai sumber/franky-kie
-----------------------------------------------
BOKS
EMAS Adukan PDAM Karanganyar Ke KPK
Gabungan masyarakat yang tergabung dalam Elemen Masyarakat Surakarta,(EMAS) secara resmi melaporkan kasus dugaan penyimpangan pembangunan seribu rumah buruh dan pekerja berpenghasilan rendah, Griya Lawu Asri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ditindak.
Dalam laporan yang disertai gambar-gambar sebelum dan sesudah peresmian perumahaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menguraikan kondisi perumahaan tersebut, diantarannya jalan rusak,jembatan yang putus, kondisi rumah yang dibangun seadaannya dengan menggunakan bahan bangunan jauh dari standar,sehingga banyak yang rusak, pemalsuan data warga yang memohon kredit rumah, listrik, termasuk rekayasa saluran pengadaan air minum yang dilakukan Perusahaan Air Minum Daerah,(PDAM) dengan menyiapkan satu unit mobil tangki saat peresmian.
Ketua Elemen Masyarakat Surakarta,Rahmad mengatakan, air PDAM belum terpasang di kawasan tersebut belum. "Presiden dibohongi. padahal daerah tersebut dari penelusuran kami belum di pasangi aliran air minum. Saat peresmian, ada satu mobil tangki yang disembunyikan jauh dari lokasi dan dipasangi pipa ke sebuah rumah yang ditinjau Presiden usai peresmian. Jadi saat Presiden masuk dan mencoba air, air disana sudah terpasang," papar Rahmad.
Secara terpisah, Direktur Utama PDAM Aris Wuryanto membantah pihaknya ikut merekayasa sambungan air minum saat peresmian perumahaan Griya Lawu asri oleh Presiden.
Menurut Aris, pihaknya memang menyediakan tengki air minum saat peresmian. Tetapi keberadaan tangki air minum tersebut digunakan dalam kondisi darurat saja. Aris menjelaskan, sebelum diresmikan Presiden, pihaknya sudah memasang lima saluran pelanggan yang sudah mengajukan permohonan pemasangan pada PDAM.
"Jangankan untuk Presiden,untuk anak-anak Pramuka saja kami menyediakan air bila diminta. Apalagi ini,untuk kedatangan Presiden. Tanpa diminta, kami wajib menyediakan.Jadi tangki tersebut untuk keadaan darurat saja dan digunakan bila air dalam rumah yang dikunjungi Presiden tidak berfungsi," jelasnya dengan emosi sambil menyatakan kesiapannya menghadapi KPK.*/fr-kie
--------------------------------------------------------
Tahan Manajer GLA, Kejati Jateng Bidik ‘Aktor Intelektual’

Setelah bekerja ekstra keras, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah akhirnya menetapkan pimpinan Koperasi Serba Usaha (KSU) Sejahtera, Handoko Mulyono, sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri (GLA) di Dukuh Jeruk Sawit, Desa Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Tahun 2007-2008.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Handoko kemudian ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane Semarang pada Senin (15/2) malam dengan diantar petugas menggunakan mobil tahanan Kejati Jateng.
Proses penahanan bos KSU Sejahtera itu berlangsung alot karena tersangka ngotot tidak mau ditahan, bahkan dia menolak menandatangani berita acara pemeriksaan dan berita acara penahanan degan alasan menunggu penasihat hukumnya yang masih berada di Karanganyar. “Lebih baik saya ditebak mati daripada ditahan,” kata Handoko pada penyidik.
Kepala Kejati Jateng, Salman Maryadi, menjelaskan, Handoko yang bertindak sebagai Manajer GLA itu ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik kejati sejak Senin (15/2) pagi.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut, katanya, diketahui adanya alat bukti yang cukup kuat telah terjadi tindak pidana korupsi terhadap dana yang diberikan Kantor Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) untuk pembangunan dan pemugaran perumahan bersubsidi.
”Jumlah kerugian negara akibat tindakan tersangka sebesar Rp 15 miliar dari nilai total bantuan sebesar Rp 35 miliar yang diberikan pemerintah dengan rincian Rp 12 miliar untuk KPR bersubsidi dan Rp 23 miliar untuk subsidi Kemenpera,” katanya didampingi Asisten Intelijen Kejati Jateng, I Gede Sudiatmaja.
“Hasil ekspose menunjukkan adanya alat bukti kuat terjadinya tindak pidana korupsi atas subsidi dari Kantor Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) untuk pembangunan perumahan atau KPR bersubsidi senilai Rp11,9 miliar dan subsidi Kepmenpera untuk pemugaran dan renovasi rumah sebesar Rp23 miliar lebih. Sehingga, hari ini juga statusnya kami naikkan ke penyidikan dengan tersangka Handoko Mulyono,” kata Kajati.
Menurut Salman, dugaan sementara jumlah kerugian keuangan negara dari total bantuan yang hampir Rp35 miliar itu telah mencapai sekitar Rp15 miliar.
Tersangka dikenai Pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No31/1999 jo UU No20/2001. Surat perintah dilakukannya penyidikan pun dikeluarkan Kajati dengan nomor 02/0.3/Fd.1/02/2010 tertanggal 15 Februari 2010.
Ia menyatakan, tidak tertutup kemungkinan ada tersangka lain dalam kasus itu. Termasuk dugaan keterkaitan Dd, yang juga dikenal sebagai ‘orang kuat’ di Karanganyar.
Beberapa waktu sebelumnya, Kepala Bagian Humas dan Protokol Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) Eko Suhendratma dalam surat elektroniknya kepada sebuah surat kabar nasional mengatakan, pihaknya telah menyalurkan bantuan subsidi untuk 1.003 unit rumah untuk pekerja di GLA. Dana subsidi dibayarkan langsung oleh Departemen Keuangan kepada lembaga keuangan atau KSU Sejahtera. "Nilai subsidi kepada KSU Sejahtera sebesar Rp 11,905 miliar," kata Eko.
Selain itu, proyek perumahan Griya Lawu Asri juga mendapat bantuan stimulan pembangunan jalan sepanjang 1.100 meter senilai Rp 1,365 miliar.
BEDA JUMLAH
Sekedar mengingatkan, semula Kemenpera menyalurkan bantuan subsidi perumahan rakyat melalui KSU Sejahtera yang bekerja sama dengan Perumnas Jateng sebagai pengembang awal perumahan tersebut. Namun tanpa diketahui alasannya, kerja sama itu tidak berlanjut.
Saat pelaksanaan proyek tersebut, terdapat perbedaan mengenai data jumlah rumah yang sudah dibangun dan terjual. Pihak KSU Sejahtera menyatakan 783 unit rumah sudah dibangun dan terjual 400 unit sedangkan pihak Perumnas menyatakan jumlah rumah yang terjual 265 unit.
Pihak Pemerintah Kabupaten Karanganyar menyebutkan, 1.263 unit rumah telah dibangun dan terjual 563 unit namun hasil temuan Kejaksaan Negeri Karanganyar menyebutkan rumah yang selesai dibangun sebanyak 600 unit dan terjual 200 unit.
Sebelum menjabat sebagai pimpinan KSU Sejahtera, Handoko sebagai manajer lapangan KSU itu sedangkan pimpinan KSU sebelumnya adalah Fransisca Riyana Sari.
Fransisca yang juga masih saudara dari ‘orang kuat’ di Karanganyar tersebut sampai saat ini masih aktif bekerja di KSU itu namun belum diketahui jabatannya.
Mestinya Fransisca juga akan diperiksa bersamaan dengan Handoko, namun karena diketahui baru saja melahirkan, Fransisca pun urung datang.
Asisten Intelijen (As Intel) Gede Sudiatmaja mengatakan, pengembang perumahan, awalnya adalah Koperasi Serba Usaha (KSU) Sejahtera. Dalam perjalanannya, pengembang berganti menjadi KSU Karanganyar Bersatu.
“KSU Karanganyar Bersatu itu ternyata tidak dikenal oleh Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera). Kemenpera menyatakan subsidi disalurkan lewat KSU Sejahtera. Dalam perkembangannya, Perum Perumnas Regional V/Jateng memutuskan hubungan kerjasama dengan KSU Karanganyar Bersatu,” tegas Gede yang sebentar lagi akan meninggalkan Jawa Tengah ini.
Sementara itu Bupati Karanganyar, Hj Rina Iriani menegaskan bahwa Pemkab Karanganyar tidak ada keterkaitan apa-apa dengan proyek pembangunan perumahan GLA. “Kami hanya menyiapkan lahan (site plan) saja.”
Mulanya, Pemkab berpikir dengan adanya perumahan tersebut diharapkan membuat wilayah tersebut berkembang lebih maju. Dan jika akhirnya pembangunana perumahan tersebut terindikasi korupsi, dirinya akan menghormati proses hukum yang berlangsung.
AKTOR INTELEKTUAL
Sebelum ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, kasus GLA ini telah ditangani oleh Kejaksaan Negeri Karanganyar. Bahkan untuk menyelidiki proyek perumahan Griya Lawu Asri yang terbengkalai, Kejari Karanganyar telah memeriksa lima orang sehubungan dengan kasus perumahan yang diperuntukkan untuk pekerja di Desa Jeruksawit, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Karanganyar Bambang Tedjo M mengatakan, lima orang yang diperiksa berasal dari pihak pengembang, yakni Koperasi Serba Usaha Sejahtera yang dulunya bernama Koperasi Karanganyar Bersatu, dan Perum Perumnas Regional V.
Saat itulah terungkap, baru 600 unit yang dibangun dengan 200 unit di antaranya terjual. Hal ini berbeda dengan keterangan Manajer Lapangan KSU Sejahtera Handoko Mulyono yang secara terpisah mengatakan sudah 783 unit dibangun dengan sekitar 400 unit terjual.
Proyek GLA adalah bagian dari program pembangunan 10.000 rumah pekerja di Kabupaten Karanganyar yang juga bagian dari Program Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah. Perumahan GLA diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Desember 2006.
Aktor intelektual di balik dugaan penyimpangan uang negara dalam proyek perumahan bersubsidi untuk pekerja, Griya Lawu Asri atau GLA, di Desa Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar, memang harus diungkap.
Dari data yang diperoleh, perjanjian kerja sama tentang pembangunan dan pemasaran rumah GLA ditandatangani pihak Perum Perumnas Regional V dan KSU Karanganyar Bersatu. Namun, belakangan pelaksananya berubah menjadi KSU Sejahtera. Pendirian KSU Karanganyar Bersatu pun tidak jelas, ketua koperasinya beralamat di rumah dinas Camat Colomadu.
Dalam naskah kesepakatan bersama antara Perum Perumnas Regional V dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar tentang pembangunan rumah di Kecamatan Gondangrejo, Kebakkramat, dan Karanganyar, terlihat adanya dukungan luar biasa.
Dukungan itu antara lain Pemkab Karanganyar sepakat untuk menyiapkan calon pembeli dari pegawai negeri sipil otonom dan vertikal, pegawai BUMN/BUMD, pekerja industri, dan anggota koperasi di Kabupaten Karanganyar.
Secara terpisah Kajari Karanganyar, Damianus Sriyatin, tak bersedia berkomentar banyak menyangkut hasil pertemuan dengan Pimpinan DPRD. Kajari hanya menegaskan pihaknya selama ini sudah bersungguh-sungguh menangani kasus dugaan penyimpangan proyek GLA yang disubsidi Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera).
”Intinya kami serius menangani kasus Perumahan GLA Jeruksawit. Tetapi sekarang tahapnya masih Pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan). Karena itu belum banyak yang bisa diungkapkan,” ujarnya singkat.
Selama hampir tiga jam, Damianus memberi penjelasan terkait pengusutan yang telah dilakukan kepada empat unsur pimpinan DPRD yakni Sumanto, Juliyatmono, Rohadi Widodo dan Tri Haryadi.
Kasus dugaan penyimpangan proyek perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri (GLA) di Desa Jeruksawit, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, diambil alih pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah. Hal itu diketahui setelah pimpinan DPRD setempat menggelar pertemuan tertutup dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat, Senin (8/2).
“Tidak hanya diekspose, tapi menurut Kajari penanganan kasus GLA sudah diambil alih Kejati Jawa Tengah karena kerugian negara dinilai besar. Pengambil alihan kasus juga untuk mempercepat proses penanganan,” ujar Wakil Ketua DPRD Karanganyar, Juliyatmono usai pertemuan.
Pihak DPRD sendiri mengaku tidak keberatan dengan langkah yang diambil Kejati. Melalui Kejari Karanganyar, secara berkala pihak DPRD akan meminta data tentang perkembangan penyelidikan dan penanganan atas kasus dugaan penyimpangan proyek dari kementrian perumahan rakyat (Menpera) tersebut. Siapa saja yang masih memiliki data terkait dugaan penyelewangan GLA diminta untuk segera menyerahkan ke Kejari.
“Kami juga akan terus mengawal kasus ini dengan meminta perkembangan kasus dari Kejati secara periodik. Dengan komitmen tinggi dari kejaksaan, saya kira pengambil alihan kasus ini tidak menjadi masalah. Kasus ini dianggap unik karena mungkin yang pertama kali terjadi di Indonesia kasus seperti ini, selain itu kasus ini juga sangat kompleks dan mempunyai akar kemana-mana,” terangnya.
Saat ini, ketika perkembangan kasus GLA ini mulai menelorkan tersangka dan berbuah penahanan, SWARA ADHYAKSA kesulitan menghubungi orang nomer satu di Pemkab Karanganyar alias Bupati Rina. Berulangkali ponselnya terdengar nada sambung, namun tak diangkat. Termasuk saat SWARA ADHYAKSA mengirim pesan pendek yang memohon konfirmasi soal indikasi aktor intelektual kasus ini mengarah kepada keluarganya, Rina hanya membalas…..untuk jelasnya, buat surat resmi saja pak. Trimakasih….tim-kie


Sabtu, 13 Februari 2010

LORONG GELAP BANSOS

Korupsi Bansos Di Jateng Capai Rp 6,2 M
Lorong Gelap Dana Bansos

Sejak kasus penyimpangan dana bansos mencuat awal 2009 silam, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah ‘kebanjiran’ kasus yang merata hampir di semua Kejaksaan Negeri maupun Cabjari se Jawa Tengah.
Meski diakui oleh kejaksaan bahwa menggali informasi seputar penyimpangan dana bantuan sosial ini memang tak mudah, karena begitu banyaknya lembaga penerima bantuan gubernur ini. Dan, begitu rumitnya mengurai alur dana bantuan sosial yang mengalir di provinsi ini, penyelidikan yang dilakukan ‘laskar’ Adhyaksa seperti tengah masuk dalam lorong gelap yang panjang.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Tengah, Drs Salman Maryadi, SH mengungkapkan, kerugian negara akibat penyimpangan dana bantuan sosial (bansos) yang disalurkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 2009 ditaksir mencapai Rp 6,2 miliar lebih.
"Berdasarkan data yang ada di Kejati, terdapat 53 perkara penyimpangan dana bansos. Saat ini ada 13 perkara dalam tahap penyelidikan dan sisanya masuk dalam tahap penyidikan yang beberapa di antaranya sudah ada yang dinaikkan tahapannya ke tahap penuntutan," katanya saat menjadi salah satu pembicara pada seminar ‘Upaya Pembenahan Penyaluran Dana Bantuan Sosial Menuju Masyarakat Jateng Sejahtera (Bedah Korupsi Serentak Bansos)’ di Novotel Semarang, Kamis (3/12).
Dalam seminar yang dipandu pakar ilmu hukum Universitas 11 Maret Surakarta Isharyanto SH MH juga menghadirkan Koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng Jabir Alfaruqqi, Wakil Ketua DPRD Jateng Fikri Faqih, dan Sekretaris Daerah Pemprov Jateng Hadi Prabowo.
Kajati mengungkapkan, angka kerugian korupsi bansos terus bergulir. Sebab tiap waktu bisa saja laporan masyarakat bisa saja masuk ke kejaksaan. Dia berujar, hal itu ironis, sebab bansos itu semestinya untuk kesejahteraan masyarakat namun malah terjadi penyelewengan-penyelewengan secara massif di Jawa Tengah.
Ditambahkannya, permasalahan bansos ini merupakan hal yang spesifik karena sasarannya langsung kepada masyarakat yang ada di pedesaan sehingga perlu dicari solusi permasalahan dan upaya-upaya pencegahan yang bersifat preventif agar jangan sampai terjadi tindak pidana korupsi terhadap bansos.
Kajati mengatakan, untuk jumlah tersangka dalam perkara bansos yang saat ini ditangani pihaknya belum dapat dipastikan. "Namun yang jelas jumlahnya lebih dari 40 tersangka karena dalam satu berkas terdapat tersangka yang berjumlah dua orang," ujarnya.
Pada umumnya, jelas Kajati, para tersangka penyimpangan dana bansos menggunakan beberapa modus operandi antara lain dengan melakukan pemotongan dana bansos dalam jumlah tertentu setelah diterima pemohon, mengajukan bansos tapi objeknya tidak ada, memalsukan data serta mengurangi jumlah dana bansos yang seharusnya diterima atau digunakan dalam pekerjaan tertentu dan pengurangan pekerjaan sehingga tak sesuai bestek.
Pada akhir seminar, Kajati memberikan solusi yang dianggap terbaik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk penyimpangan dana bansos yang disalurkan kepada masyarakat yaitu dengan membuat suatu sistem aturan yang dapat menutup celah-celah korupsi bansos.
"Selain itu juga perlu melibatkan peran masyarakat dan membentuk tim verifikasi independen yang bertugas mengawasi mulai dari tahap pengajuan permohonan, penerimaan, sampai pelaporan realisasi dana bansos di lapangan," katanya
BANYAK CELAH
Sementara itu, Hadi Prabowo, Sekda Provinsi Jawa Tengah, menyoroti mekanisme dan pencairan dana bansos yang pada penyalurannya diakui masih banyak celah-celah penyimpangan.
”Dari mekanisme sampai dengan pencairannya sebenarnya sudah dibuat sistematis untuk menutup celah-celah penyimpangan namun setelah pelaksanaannya muncul beberapa masalah terutama dari segi pengelolaan,” katanya.
Masalah-masalah itu adalah sasaran bansos yang terlalu besar dengan berbagai bidang, kesepakatan dengan anggota dewan mengenai standar pembiayaan, dan tim verifikasi hanya memeriksa pada sistem sehingga menjadi celah penyimpangan.
Dia juga mengisyaratkan dengan banyaknya penyimpangan dana bansos itu, anggaran bansos tahun 2010 kemungkinan akan dikurangi hingga 50 persen dibandingkan tahun 2009. "Kami berharap pengurangan tersebut bisa mengubah pola pikir masyarakat agar tidak terlalu menggantungkan dana bansos. Bila tidak dikurangi, kami khawatir masyarakat tidak mandiri," ujarnya.
POLITISASI BANSOS
Sementara Jabir Alfaruqqi, Ketua KP2KKN Jateng, lebih berbicara pada pengawasan dan pencegahan korupsi dana bansos karena pemerintah tidak punya desain yang jelas dan hanya menunggu permintaan dari masyarakat.
Jabir menjelaskan, dengan sistem yang ada di Pemprov Jateng saat ini, penindakan yang dilakukan kejaksaan selama 2009 terhadap penyimpangan dana bansos 2008 belum tentu dapat melenyapkan kasus penyelewengan itu pada tahun-tahun mendatang.
”Padahal kalau memang sudah didesain dengan baik dan rinci maka dari tahun ke tahun dana bansos dapat dikurangi jumlahnya,” katanya.
Untuk itu, lanjut dia, perlu dibuat suatu pusat data untuk mengakumulasi kebutuhan tersebut dan memberikan jaminan kepastian hukum serta memberi perlindungan terhadap saksi dalam perkara korupsi bansos.
Jabir juga menyoroti akses ‘markus’ ternyata lebih diminati masyarakat dalam pengajuan permohonan bansos. “Ini lantaran banyak masyarakat melihat bahwa pengajuan tanpa melalui ‘markus’ seringkali menemui jalan buntu.cKondisi ini juga diperparah dengan adanya politisasi bansos oleh sebagian angoota dewan, terutama saat awal jabatan atau menjelang pemilu legislatif.”
Sedangkan, Fikri Faqih menganggap hal tersebut bukan merupakan wewenang DPRD melainkan sudah wewenang eksekutif. Wakil Ketua DPRD Jateng tersebut menegaskan komitmen kalangan dewan dalam ikut berpartisipasi menekan praktik korupsi bansos.
Namun agar langkah tersebut mulus, menurut politisi PKS ini perlu adanya kepercayaan terhadap dewan yang baru dilantik pada awal September lalu.
”Kalau yang kemarin ada biarlah itu jadi catatan kita. Yang pasti berilah trust bagi anggota dewan yang baru ini,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jateng Mochtar Husein, yang menjadi narasumber menambahkan, praktik penyunatan bansos di Jateng mayoritas melibatkan pihak ketiga. "Kami melihat tidak ada tata cara untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi. Akibatnya, bansos itu memang rawan penyimpangan," tuturnya.franky/marni-kie